Oleh : Capt. Subandi *
SENDI – sendi perekonomian di hampir semua negara di dunia, termasuk Indonesia kini mengalami tantangan yang cukup berat lantaran diterpa masalah darurat kesehatan yang disebabkan oleh Virus Corona (Covid-19).
Diawali terjadinya Pandemi Covid-19 di Kota Wuhan China pada akhir 2019, banyak barang yang sudah dipesan tertunda kedatangannya karena Wuhan yang merupakan salah satu wilayah industri dan pelabuhan di negeri China melakukan kebijakan lock down atau karantina wilayah.
Kebijakan China tersebut, berakibat pada tidak beroperasinya pabrik-pabrik dan juga perkantoran-perkantoran setempat.
Efeknya, barang-barang yang selama ini di importasi dari China melalui Wuhan, baik yang berupa bahan baku, barang modal maupun barang konsumi rumah tangga terhenti total hingga akhir 2019 dan memasuki awal tahun 2020.
Sebagaimana diketahui, kegiatan importasi Indonesia yang berasal dari China, jumlahnya juga tidak sedikit mengingat hubungan dagang antar kedua negara selama ini terjalin cukup harmonis.
Akibatnya sebagian industri dalam negeri di Indonesia menurunkan produksi, begitu juga usaha trading mulai tidak bisa memenuhi permintaan.
Situasi tersebut, semakin buruk ketika wabah Covid-19 menyebar ke beberapa Negara sekitarnya seperti Korea Selatan, Jepang, India dan sejumlah negara lain.
Setelah Pemerintah China secara perlahan dapat mengatasi pandemi Covid-19 di negaranya termasuk Wuhan, beberapa komoditas yang sempat terganggu pengirimanya mulai berdatangan ke Indonesia dan puncaknya justru terjadi di bulan April 2020.
Namun demikian, dampak penurunan produksi dan tidak terpenuhinya kebutuhan barang modal dan konsumsi telah menurunkan daya beli masyarakat dan sektor usaha lainya, akibatnya sebagian perusahaan mengambil kebijakan mengatur jam dan waktu kerja karyawan.
Ternyata secara perlahan tapi pasti Covid-19 mulai masuk ke Indonesia, tepatnya diawal tahun 2020.
Pemerintah Indonesia mulai membuat kebijakan untuk antisipasi penyebaran yang lebih masif dan meluas dengan melarang dan membatasi beberapa perkantoran atau tempat usaha yang berakibat pada merumahkan dan mengistirahatkan beberapa karyawanya.
Situasi ini merupakan babak kedua dari sulitnya melaksanakan kegiatan importasi karena kemudian berubah persoalanya ada di dalam negeri Indonesia dimana hasil produksi Industri nasional dan barang-barang konsumsi lainya tidak terserap secara maksimal lantaran merosotnya daya beli.
Kebijakan pemerintah melalui Kementrian Perdagangan dan Kementerian Pertanian yang tidak sinkron juga sempat membuat pelaku usaha importasi untuk beberapa produk pertanian seperti bawang putih dan lainya justru mengalami ketidakpastian.
Begitu juga kebijakan pelarangan dan pembatasan atas beberapa produk atau komoditas seperti baja tertentu, tekstil, elektronik dan lainnya membuat beberapa pelaku usaha importasi memilih stop aktifitas.
Biaya Logistik Meroket
Ironisnya, ditengah problematika pelaku usaha yang berhadapan dengan Pandemi Covid-19, selama tahun 2020 juga pemerintah belum bisa menjadi wasit bagi para penyedia dan pengguna shipping line (Importir).
Hal itu terutama soal pengutipan uang jaminan Petikemas dan biaya-biaya yang tidak ada pelayanannya seperti Equipment Handling Surcharges (EHS), Equipment Handling Cost (EHC), Equipment Handling Maintenance (EHM) dan lainnya yang menimbulkan biaya logistik semakin tinggi .
Disektor pelayanan , importir juga masih merasakan hambatan, seperti layanan joint survey petikemas yang wajib periksa karantina dan custom (Single Submision) bukanya semakin mudah tetapi menambah birokratif karena melibatkan banyak instansi seperti Kementrian Perdagangan, Custom, Karantina dan INSW.
Harapan Pebisnis
Pebisnis, termasuk GINSI berharap pada tahun 2021 perekonomian berangsur normal, dan beberapa kebijakan yang sifatnya membatasi, menahan, dan birokratif harus dicabut dan atau di evaluasi kembali.
Disisi lain, Pemerintah juga harus tegas melarang pengutipan uang jaminan oleh agen pelayaran asing dan mendorong agar menggunakan asuransi, mengingat agen pelayaran asing tidak menyimpan uangnya di dalam negeri tetapi disetorkan ke principle-nya di luar negri.
Karenanya, pengembalian uang jaminan tersebut seringkali memakan waktu lama bahkan bisa berbulan-bulan dengan alasan belum dikirim balik ke pihak agen kapal didalam negeri tersebut.
Pemerintah melalui Kementerian terkait dan Lembaga (K/L) harus terus mengawasi untuk meniadakan biaya-biaya yang tidak ada pelayanannya dilapangan atau operasional karena itu masuk katagori pungutan liar atau pungli.
Oleh sebab itu, Pemerintah Indonesia melalui K/L tersebut harus punya kewibawaan dalam mengatur secara tegas perusahaan-perusahaan yang melaksanakan kegiatan usaha di dalam negeri Indonesia termasuk agen-agen perusahaan pelayaran asing, untuk taat dan patuh terhadap aturan hukum dan perundang-undangan yang berlaku di Republik ini.***
*)Capt Subandi (Ketua Umum BPP GINSI)
Discussion about this post