Bagi Yance Gunawan, membangun kapal adalah passion. Ketika bicara soal kapal, andrenalinnya bangkit sekalipun dia sadar industri galangan kini tidak lagi bergairah seperti dua tahun lalu.
Direktur Utama PT Dumas Tanjung Perak Shipyards ini mengaku prihatin dengan kondisi galangan kapal. Kini hampir tidak ada pembangunan kapal baru, selain pekerjaan reparasi yang diperebutkan hampir semua galangan kapal.
Namun, passion membangun kapal sudah menjadi kesenangan bagi pria kelahiran Sumbawa, 1 Juli 1960 ini. Tidak heran jika dia dianggap perfeksionis oleh karyawan. Tidak ada alasan yang masuk akal bagi Yance untuk sebuah kesalahan.
“Saya tidak kompromi soal kualitas sebab kapal menyangkut keselamatan, bukan sekadar alat angkut,” tegasnya.
Maklum, sarjana perkapalan jebolan Hochschule Bremen Jerman Barat tahun 1988 ini sudah berkutat di bidang teknik sejak bergabung di Dumas pada 1989. Saat itu, dia mengepalai Bagian Desain dan Engineering.
Pada 1993, dia ditunjuk sebagai Manajer Produksi, lalu diangkat menjadi Direktur Produksi 3 tahun kemudian. Posisi ini masih dipegang Yance meskipun meskipun sudah menduduki kursi Dirut sejak 2005.
Sebagai pelaku industri, tentu saja kelesuan galangan kapal membuat Yance gundah. Menurut dia, kondisi ini tidak seharusnya terjadi mengingat potensi kelautan Indonesia luar biasa besar.
“Mestinya ada perhatian. Kalau galangan kapal dipandang sebelah mata, sayang sekali. Potensi maritim kita sangat besar, sampai kapan pun Indonesia butuh kapal,” kata Yance yang juga anggota Dewan Penasihat Iperindo.
Dia mengingatkan, jangan sampai negara ini kembali ke masa lalu ketika potensi maritim dinikmati oleh asing. Pemerintah sudah berupaya membangkitkan sektor maritim dengan menerapkan asas cabotage berdasarkan Inpres No. 05/2005 dan UU No. 17/2008 tentang Pelayaran.
Kebijakan yang mewajibkan komoditas domestik diangkut kapal berbendera Merah Putih ini berhasil meningkatkan jumlah armada kapal nasional dari sekitar 6.000 unit pada 2005 menjadi lebih dari 23.000 unit pada 2017.
Sayangnya, hanya sebagian kecil dari kapal-kapal itu yang dibangun di dalam negeri. Ketika pemerintah meluncurkan proyek Tol Laut, disertai gencarnya pemberantasan illegal fishing dan pembangunan infrastuktur, investor perkapalan kembali melirik Indonesia.
Pemerintah sempat menyebut berencana membangun 2.500 kapal Tol Laut dan 3.500 kapal nelayan. “Rencana ini menggema ke seluruh dunia dan membuat investor antusias, terutama industri komponen. Mereka berebut pasar peralatan kapal, termasuk berinvestasi,” ujar Yance.
Namun, ketika industri perkapalan mulai bergairah, proyek Tol Laut tiba-tiba berhenti pada 2017. Akibatnya pelaku usaha yang sudah berinvestasi gigit jari, sebab mereka berharap program tersebut berkelanjutan.
“Saya juga ikut mendorong investasi komponen, seperti kabel, lampu, pompa, valve, crane. Investasi itu tidak mudah, investor tanya dulu berapa kapal yang mau dibangun. Proyek Tol Laut dan kapal nelayan sangat menentukan keputusan mereka,” ungkapnya.
Konsistensi Kebijakan
Oleh sebab itu, dia berharap pemerintah konsisten menerapkan kebijakannya, sebab untuk membangun sesuatu harus ada kesinambungan. Dengan adanya Tol Laut, industri perkapalan bergairah sehingga akan mendorong investasi komponen.
Dalam kondisi seperti ini, apa yang bisa dilakukan industri galangan kapal? “Terus terang, kita belum mampu adakan komponennya, perlu peran pemerintah untuk memacunya,” cetus Yance.
Menurut dia, industri membutuhkan ‘uang sekolah’ supaya bisa berkembang di tengah persaingan global yang ketat. Uang sekolah itu yakni insentif, seperti keringanan pajak dan bea masuk komponen, serta bunga bank yang kompetitif.
“Bayangkan saja, bunga pinjaman di Indonesia dua digit, sedangkan negara lain hanya satu digit. Kalau beli kapal dicicil 10 tahun, harganya jadi dobel. Jadi wajar kalau freight kita mahal sebab bayar kapalnya juga mahal,” paparnya.
Di tengah sepinya order kapal, Yance kini ikut menggarap pekerjaan reparasi. Sebelumnya, Dumas lebih fokus pada pembangunan kapal. Namun, pasar reparasi sangat ketat sebab semua galangan terjun ke pekerjaan itu untuk bertahan hidup.
Galangan kapal juga terpaksa mengurangi tenaga kerjanya, terutama untuk supporting dan pekerja harian. Sebagai contoh, jumlah pekerja Dumas kini tinggal sekitar 300 orang dari sebelumnya lebih dari 1.000 orang. “SDM terpaksa dikurangi, kecuali karyawan organik kami berusaha pertahankan,” ujarnya.
Yance berharap industri galangan kapal di dalam negeri kembali bergairah setelah Jokowi terpilih kembali menjadi Presiden RI dan meneruskan berbagai programnya untuk mewujudkan visi Indonesia Poros Maritim Dunia.
“Kita minta kepada pemerintah agar kapal dimasukkan sebagai bagian dari infrastruktur, seperti halnya jalan tol. Kebijakan ini akan sangat membantu mewujudkan visi Presiden Jokowi itu.”
Yance optimistis, meskipun industri galangan sedang suram, potensinya sangat besar karena sangat dibutuhkan untuk mendukung konektivitas di negara kepulauan yang besar seperti Indonesia.
“Saya yakin usaha di laut, apakah itu penangkapan ikan, pelayaran, atau lainnya, akan terus hidup. Potensi laut yang luar biasa ini merupakan bekal bagi Indonesia menjadi negara maju,” ungkap Yance. (Buletin Iperindo Edisi 2/VII/2019)
Discussion about this post