PANDEMI virus corona (Covid 19) yang menerjang hampir disetiap negara di dunia malah mendatangkan berkah kepada Perusahaan Pelayaran Global (Main Line Operator). Di beberapa bulan terakhr ini, sepertinya kontainer adalah new gold, kata salah seorang pengamat pelayaran global.
Ketersediaan peti kemas di Asia , termasuk di Jakarta sangat terbatas saat ini. Hal tersebut menyebabkan banyak kesulitan bagi para eksportir kita untuk mengirimkan barangnya ke luar negeri.
Bahkan baru-baru ini, teman saya yang biasa melakukan ekspor minta tolong saya untuk mendapatkan kontainer untuk ekspor. Pasalnya, semua pelayaran global menaikkan ocean freightnya dan mengenakan surcharge baru yang dinamakan Sea Priority Go (SPG) kepada para pengguna jasa kalau ingin diprioritaskan untuk mendapatkan kontainer dan ‘space’ kapal.
Semua perusahaan Pelayaran Global meraup keuntungan yang besar di kuartal ke 3 tahun ini. Hal ini karena operating cost turun karena harga bunker (bahan bakar) sedang murah dan kepintaran dalam memanage capacity sehingga Ocean freight dapat dinaikkan secara signifikan (manage the supply dengan melakukan blank sailing).
Faktanya memang saat ini sangat sulit mencari kontainer ukuran 40 feet maupun high cube (HC) di pasar, sementara yang tersedia hanya 20 feet. Sementara ekspor kita yang sebagian besar adalah adalah alas kaki dan barang-barang elektronik menggunakan 40 feet ataupun HC untuk ekspornya.
Makanya, tidak aneh kalau produktivits atau troughput peti kemas di Tanjung Priok di bulan Oktober tahun ini lebih rendah sekitar 10% di banding throughput di bulan sebelumnya (September) khususnya untuk volume peti kemas international.
Terjadinya krisis kontainer ini adalah pertemuan dua peristiwa. Salah satunya yakni kenaikan tajam dalam pertumbuhan permintaan dan yang lainnya adalah efek penundaan waktu pengapalan karena banyak skedul pengapalan yang dibatalkan (blank sailing).
Sekarang ini semua perrusahaan pelayaran global akan memprioritaskan kontainernya di gunakan untuk ekspor dari China ke Amerika yang NTV (net to value) nya jauh lebih tinggi dibandingkan trade yang lainnya.
Alasannya, bagi pelayaran jika trade ke Trans Pacific sedang bagus, perusahaan pelayaran pasti untung. Kondisi seperti ini mengingatkan kita semua terhadap hal serupa yang pernah terjadi juga pada saat krisis tahun 1998 di mana nilai dollar meroket dari rupiah yakni dari Rp.2. 500/ dollar US menjadi Rp.16,000/dollar US.
Semua eksportir berlomba untuk berebut kontainer demi keperluan ekspornya, lantaran dengan harga jual yang sama dalam US dollar, eksportir bisa meraup nilai rupiah 8 kali lipatnya.
Kembali ke teori sederhana, dalam suatu krisis dan perubahan apapun, selalu ada yang diuntungkan dan dirugikan.(#)
(Penulis : Bambang Sabekti /Praktisi Maritim)
Discussion about this post